Selasa, 01 Maret 2011

Koalisi, Satu Kamar Beda Hati

Susilo Bambang Yudhoyono Presiden RI yang terpilih untuk kedua kalinya dengan suara mayoritas lebih dari 60 %. menjalankan pemerintahan dengan kabinet Indonesia Besatu jilid 2, degnan mitra koalisi GOLKAR, PKS, PKB, PPP, PAN. Secara persentase suara seharusnya ini adalah sistem yang sangat stabil kalau dilihat dari kasat mata. Karena keunggulan di parlemen bisa mencapai 70 % lebih suara, itu artinya seharusnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkuasa dapat mulus-mulus saja di parlemen.

Namun pada kenyataannya jauh panggang dari api. Pertanda sangat santernya hubungan yang kurang baik ini sudah terlihat pada masa hak angket bank century, dimana beberapa partai memiliki sikap yang berbeda diantaranya Golkar, dan PKS. Mulai dari situ banyak bergulir wacana reshuffle yang akan dilakukan presiden sebagai konsekuensi pembelotan itu. Tapi kenyataanya 2 partai tersebut masih aman posisinya dalam koalisi. Setelah itu baru munculah Setgab yang diketuai oleh ketua umum Golkar Aburizal Bakrie. Setgab ini dinilai salah satu bentuk usaha presiden dan partai demokrat untuk mengikat partai-partai yang ada dalam koalisi dengan lebih serius lagi dan komunikasi lebih intens lagi dengan diketuai ical. Namun ternyata Setgab ini dinilai malah menjadi masalah baru, karena komunikasi yagn tidak berjalan dengan efektif sehingga terjadi ambigu dalam koalisi besar ini.


Akhir-akhir ini suasana dalam kamar koalisi itu pun semakin tak harmonis lagi, ketika Golkar dan PKS membelot dengan mendukung hak angket mafia pajak. Bagi Demokrat masalah ini sudah sampai di ubun-ubun dan hampir meledak. Sehingga desakan untuk reshuffle dan mengeluarkan partai yang membelot semakin kencang. Akhirnya SBY pun angkat bicara, dengan gayanya yang khas dan terkesan sangat terukur dan cenderung hati-hati berbahasa itu meninsyaratkan bahwa gertakan Demokrat akan segera direalisasikan. Mungkin kali akan benar-benar terjadi kalau tidak mau SBY disebut pepesan kosong seperti yang ia lontarkan ke pada pemprov DKI pada pertemuan dengan pimpinan daerah beberapa waktu lalu.

Golkar dan PKS, untuk kesekian kalinya memilki sikap yagn berbeda dengan Demokrat. Mereka terancam di DO dari koalisi. Namun tentu para petinggi mereka tak gentar ancaman itu, dan semua petinggi Golkar dan PKS, mengatakan siap kalau harus di reshuffle atau bahkan dikeluarkan dari koalisi yagn menjadi hak prerogratif dari presiden. Lalu siapa yang diuntungkan?

Tentu konstelasi semacam ini tidak lepas pada proyeksi 2014. Golkar jelas, partai kedua terbesar mereka dengan tegas mentargetkan menjadi pemenang di pemilu berikutnya bahkan menggadang-gadang Ical sebagai capres. PKS, partai dengan basis masa yang loyal, partai Islam terbesar di republik ini yang mulai memiliki daya tawar yang cukup tinggi, mereka juga mentargetkan menjadi pemenang pada 2014 dan mereka juga sudah mulai menyiapkan dan menjaring capres dari kalangan kader sendiri.

Dengan keadaan seperti ini Golkar dan PKS agak sedikit diatas angin walaupun ditengah ancaman reshuffle dan pemecatan dari koalisi. Tapi sikap yang diperlihatkan mereka seolah menandakan bahwa mereka adalah partai yang tidak manut begitu saja pada kestabilan pemerintahan dan menularkan itu ke parlemen sehingga menjadikan pengkebirian terhadap sikap kritis parlemen. Banyak yang menilai langkah yang mereka ambil adalah langkah yang berani dan tanpa kompromi. Sehingga ini dapat melahirkan kepercayaan publik terhadap kinerja mereka. Mereka tercitrakan sebagai garda terdepan dalam memberantas mafia pajak yang sangat menggurita itu. Seperti halnya yang terjadi pada hak angket century, mereka tampil sangat perkasa dan sangat kontradiktif dengan sikap Demokrat.

Demokrat yang untuk kesekian kalinya merasa di tohok oleh mitra sendiri, sudah tak bisa lagi menahan geram, dan terus mendesak presiden untuk segera mengevaluasi kontrak koalisi yang 11 butir itu. Ini tak bisa ditahan lagi dan harus segera direalisasikan. Jika saja presiden tidak melakukan hal yang sangat fundamental,katakanlah reshuffle tentu akan ada gejolak dalam tubuh petinggi demokrat telebih di grass root. Namun menurut saya jika terjadi reshuffle atau pemecatan Golkar dan PKS dari koalisi akan membuat mereka menjadi pihak yang seolah menzholimi partai lain yang berusaha kritis terhadap pemerintah meskipun itu dalam koalisi. Tentu masyarakat menilainya seperti itu,entah dibelakang sikap kritis itu ada loby politik dibelakangnya itu tidak penting bagi persepsi masyarakat. Politik terzholimi masih menjadi salah satu cara untuk menaikkan citra, seperti yagn sering dilakukan presiden SBY sendiri, misalnya ketika merasa di zholimi dan target teroris pada saat itu elektabilitas presiden naik. Nah, dengan demikian sikap ini sedikit banyak akan merugikan demokrat sendiri. Terlebih lagi dua mitranya ini memiliki suara yang cukup significant dibanding mitranya yang lain seperti PKB, PPP dan PAN. Tentu ini akan mengurangi kestabilan arah koalisi. Bahkan jika saja Golkar dan PKS bergabung dengan menjadi mitra oposisi tentu ini akan membalikkan keadaan dan pemerintah menjadi pihak yang akan terdesak.

Golkar merupakan partai yang memiliki sejarah dan martabat yang sangat besar di negeri ini. Walaupun karakternya yang dekat dengan kekuasaan bahkan pada koalisi ini pun mereka masuk paling akhir, setelah pada Pilpres menjadi rival demokrat. Tentu mereka tak akan semudah itu “takluk” pada Demokrat, dan membuat mereka kehilangan wibawa dimata konstituen. PKS, partai yang memiliki basis masa inteletual muda yang loyal dan cenderung konservatif dalam hal ini tak akan keluar dari sikap awalnya yang jelas dan siap dikeluarkan atas konsekuensi sikap itu. Ditambah lagi mereka yang mulai kini masuk ke segmen tengah sehingga bukan tidak mungkin sikap tegasnya ini dapat meningkatkan elektabilits mereka. Sedangkan Demokrat, partai pemenang pemilu yang sering kali menjadi terpojok karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang populer. Jika Golkar dan PKS tetap bersama dalam koalisi mereka akan terus saja merasa was-was dengan sikap kedua rekannya tersebut akan membelot sewaktu-waktu dan menjadi musuh dalam selimut. Kita akan lihat apa keputusan presiden dan apa dampaknya terhadap elektabilitas ketiga partai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar